GELORA NEWS -Putusan Mahkamah Agung (MA) mengubah norma batas usia pasangan calon kepala daerah (Cakada) dinilai telah melegalkan praktik nepotisme.
Penilaian itu disampaikan Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, lewat keterangan tertulis kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (3/6).
Menurutnya, Putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024 yang diajukan Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, telah mengubah aturan batas usia pasangan Cakada di Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 9/2020 tentang Pencalonan Kepala Daerah.
Dia melihat sesuatu yang janggal dari pengujian beleid itu, karena hanya dalam kurun waktu tiga hari sudah keluar keputusan yang menyepakati pengubahan batas usia itu.
“Hanya tiga hari, MA membuat keputusan yang diproses pada 27 Mei, diputus 29 Mei 2024. MA sependapat dengan dalil pemohon yang menyatakan pasal itu bertentangan dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,” ujar Neni menerangkan.
Jika membandingkan bunyi norma batas usia pasangan Cakada di putusan MA terhadap PKPU 9/2020 dengan UU Pilkada, terdapat perbedaan mencolok. Padahal, sebelum diubah, bunyi pasal di PKPU tentang Pencalonan Kepala Daerah sudah senada dengan UU Pilkada.
Dalam putusan MA, bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf d berbunyi: “berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, dan 25 untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon walikota dan wakil walikota, terhitung sejak penetapan pasangan calon”.
Sementara, jika merujuk UU Pilkada, aturan batas usia pasangan Cakada tertuang di Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. Isinya, “calon gubernur dan wakil gubernur berusia paling rendah 30 tahun, serta 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota”.
Karena perbedaan yang mencolok dan dalam putusannya tidak disertai pertimbangan hukum yang jelas, serta ditangani dalam waktu yang begitu singkat, Neni memandang MA tengah bermasalah dalam menjalankan perannya.
“Putusan MA ini preseden buruk dalam demokrasi, dan sarat kepentingan politis. Atas nama kesetaraan dan keterwakilan anak muda, memperalat dan mengakali konstitusi,” tuturnya.
“Padahal jelas, putusan MK ini hanya akan menguntungkan kandidat yang memiliki kekerabatan, kedekatan dengan oligarki dan politik dinasti,” tambah Nen
* Artikel berita ini bersumber dari media Online (Gelora News)